PERKEMBANGAN
ARSITEKTUR MASJID:
SUATU TRANSFORMASI
BENTUK DAN RUANG
ABSTRACT
Mosque, is a work of living culture, because
it is an architectural product which is always created, extensively used by
Muslim society, utilized continuously from generation to generation. As a
religious structure, therefore, mosque represents Muslim community who
constructs and makes use of it prosperously.
As a process and a product of prevailing culture, mosque often grows and
dynamically develops along with the growth and development of the society
itself. Sometimes it becomes a problem and at the same time has of much benefit
itself to investigate. The following study is to show the dynamic of
development and change in mosque architectural design in Indonesia, by bringing to light the
traditional and modern form of transformation and architectural space as its dominant
character.
Key words: mosque architecture,
development, traditional and modern architecture, transformation in form and
space.
Pengantar
Jika ditelusuri
dari sejarah perkembangannya, masjid merupakan karya seni dan budaya Islam
terpenting dalam ranah arsitektur. Karya arsitektur masjid, merupakan perwujudan dari puncak ketinggian
pengetahuan teknik dan metoda membangun, material, ragam hias, dan filosofi di
suatu wilayah pada masanya. Selain itu masjid juga menjadi titik temu berbagai
bentuk seni, mulai dari seni spasial, ruang dan bentuk, dekorasi, hingga seni
suara (Budi, B.S., 2000)
Masjid, dengan
demikian, merupakan suatu karya budaya
yang hidup, karena ia merupakan karya arsitektur yang selalu diciptakan,
dipakai oleh masyarakat muslim secara luas, dan digunakan terus-menerus dari
generasi ke generasi. Sebagai suatu proses dan hasilan budaya yang hidup,
masjid seringkali tumbuh dan berkembang secara dinamis seiring dengan tumbuh
dan berkembangnya masyarakat itu sendiri. Ini kadang menjadi masalah dan
sekaligus kelebihan tersendiri dalam menelusurinya. Telaah di bawah ini ingin
menunjukkan dinamika perkembangan dan perubahan arsitektur masjid tersebut.
Perkembangan
Arsitektur Masjid:
Dari
Tempat Sujud menjadi Pusat Budaya
Untuk menelaah lebih jauh tentang
masjid, maka pertama-tama sumber yang
harus dirujuk adalah Al Qur’an dan Al Hadist. Banyak ayat dalam kedua sumber
pedoman hidup umat Islam yang berbicara tentang masjid. Beberapa rujukan di
bawah ini menjelaskan hal itu.
Pada awalnya,
masjid tidak harus merupakan bangunan khusus atau karya arsitektur tertentu. Masjid yang secara harfiah berarti
tempat sujud, bisa berarti sekadar sebuah batu atau sehampar rumput savana,
atau lapangan padang pasir yang dikelilingi bangunan serambi seperti “masjid
lapangan” yang pertama kali didirikan oleh Nabi Muhammad SAW, misalnya. Sebab,
pada dasarnya, sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim menyebutkan, bahwa: “Kepada Jabir bin Abdullah Al-Ansary, Nabi
menerangkan bahwa bumi ini bagiku suci
bersih dan boleh dijadikan tempat untuk sembahyang, maka dimanapun seseorang berada bolehlah ia sembahyang
apabila waktunya tiba”. Hussein Bahreisj. (1982) Demikian pula, hadist riwayat Bukhari menyatakan bahwa: “Apabila Nabi Muhammad berkata: seluruh jagad telah dijadikan bagiku sebagai
masjid (tempat sujud)” (Rachym. A., 1994).
Hadits tersebut
bermaksud menyatakan bahwa seluruh permukaan bumi ini bisa dijadikan
sebagai masjid, dan sama sekali tidak bermaksud membatasi bagaimana cara dan bentuk masjid itu
diwujudkan. Oleh sebab itu, seperti disebutkan
Abdul Rochym, Islam tidak memiliki konsep arsitektur (yang memaksa), yang
menyatakan bahwa bangunan masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam,
misalnya harus memiliki ciri seragam seperti kubah atau bentuk lainnya.
Ini sejalan dengan pernyataan Mangunwijaya (1992) bahwa meski buah arsitektur yang tumbuh dari pohon penghayatan
keagamaan biasanya menampakkan arti sejati yang diilhami oleh kedalaman jiwa
manusia yang peka dimensi kosmologis, namun kita harus awas dan jangan gegabah
mencangkokkan suatu predikat “ciri keagamaan” tertentu pada suatu perwujudan
bentuk-bentuk arsitektural tertentu pula. Seolah-olah arsitektur Islam atau
Kristen misalnya, baru boleh disebut arsitektur dengan predikat Islam atau
Kristen jika setia kepada suatu deretan kategori bentuk-bentuk arsitektur.
Meski seluruh permukaan bumi adalah masjid, dan karena itu bisa saja
membuat masjid dengan sekedar batas pagar berbentuk kotak misalnya, namun bagi
ummat Islam masjid adalah “Rumah Allah” yang harus dimuliakan. Karena itu,
sepanjang sejarah perkembangan arsitektur, masjid merupakan bentukan arsitektur
yang memperoleh curahan optimal dalam hal ketrampilan teknologi, estetika, dan
falsafah dalam rangkaian sejarah arsitektur Islam. Ini tampaknya sejalan dengan uangkapan sebuah hadist lain yang
diriwayatkan Bukhari-Muslim, bahwa: “Barangsiapa mendirikan masjid karena Allah, niscaya
Allah mendirikan rumah yang sebanding (pahalanya) dengan itu di surga” (Bahreisj, H,
1982). Sementara
itu sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Naim dan Said Al Khudri. r.a.
menyatakan bahwa; “Sesungguhnya rumah-rumah-Ku di bumi ialah
masjid-masjid, dan para pengunjungnya adalah orang-orang yang memakmurkannya”
(Mustafa. H.A., 1990). Disamping itu, hadist riwayat
Ahmad dan Tarmizi mengungkapkan, bahwa:
“Rasulullah telah menyuruh kami membangun masjid di tempat tinggal kami dan
supaya kami membersihkannya”. (Mustafa, H.A. 1990). Dengan
demikian ada tiga kata kunci yang patut diperhatikan dari beberapa ayat Al
Qur’an dan Hadist tersebut di atas, yaitu perintah untuk membangun masjid,
memakmurkan, dan membersihkannya.
Sementara itu, sebuah ayat lain menyatakan:
“Hai anak Adam pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makan
dan minumlah dan jangan
berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan” (Qur’an Surat Al Araf, ayat 7). Ayat
ini menunjukkan bagaimana umat Islam harus memuliakan dan menghormati masjid.
Karena itu, justru pada saat datang ke masjid dan bukan pada saat datang ke
undangan atau pesta misalnya,
diperintahkan kaum Muslim untuk memakai pakaian yang indah, dan dalam hadist yang lain juga disunahkan untuk
memakai wangin-wangian.
Hal itu juga relevan dengan fungsi masjid sebagai
tempat suci, sehingga para pemakainya pun senantiasa harus dalam keadaan
bersih, dengan cara mandi dan berwudlu sebelum memasuki masjid dan melaksanakan
ibadah. Demikianlah, maka: “Di
dalam masjid terdapat orang-orang yang selalu mencintai kebersihan/kesucian,
dan Allah mencintai orang-orang yang selalu bersih/bersuci” (Qur’an Surat At-Taubah, ayat 108). Oleh sebab itu,: “Sesungguhnya masjid-masjid itu tidak baik
untuk tempat kencing dan kotoran. Sesungguhnya masjid itu untuk tempat
mengingat Allah SWT dan membaca Qur’an” (Mustafa. H.A., 1990).
Kesucian dan kebersihan itu terkait dengan fungsi
utama dari masjid ialah sebagai tempat ibadah shalat, terutama shalat wajib
yang lima waktu. Hadist riwayat Bukhari dan Said Tsabit mengungkapkan,
bahwa “Shalatlah kamu sekalian wahai manusia dalam rumah-rumahmu karena
sesungguhnya yang paling utama dari shalat ialah shalatnya seseorang di
rumahnya kecuali shalat yang wajib (lebih utama di masjid)”
(Mustafa, H.A. 1990).
Banyaknya
ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits yang berbicara tentang masjid tersebut,
menunjukkan bahwa masjid menempati posisi penting dan strategis sebagai tempat
dan pusat ibadah kaum Muslimin. Ini sejalan dengan perkembangan Agama Islam
yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW di tanah Arab sejak tahun 600-an
Masehi, yang telah berkembang luas baik ke Barat maupun ke Timur. Ke arah
Barat, jejak wilayahnya membentang dari Spanyol hingga Afrika Barat dan ke arah
Timur hingga China dan Asia Tenggara. Kehadiran agama ini telah memberikan
budaya baru dalam masyarakat dunia. Produk-produk budayanya dapat disaksikan
dalam berbagai perwujudannya, termasuk diantaranya adalah arsitektur.
Terbukti,
bahwa masjid telah menjadi suatu karya arsitektur yang merupakan hasil budaya
manusia yang terbesar baik dalam penyebaran geografis, ragam ukuran, maupun
ragam bentuk sepanjang masa. Kenyataan ini bertumbuh, karena arsitektur masjid
sekaligus mengandung dua unsur, yaitu sebagai kristalisasi nilai dan pandangan
hidup masyarakat Muslim, dan sekaligus sebagai pembentuk manusia-manusia yang
sesuai dengan nilai dan pandangan hidup masyarakatnya itu sendiri (Dokumen
Pengantar Pameran, 1991) Oleh sebab itu, bisa dipahami jika kemudian masjid
menjadi pusat kebudayaan agama Islam, dan bahkan menjadi tanda, simbol, dan
orientasi bagi keberadaan Islam dan ummatnya.
Dari
segi fungsi, seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia khususnya
di Pulau Jawa, masjid dalam perkembangannya tidak saja digunakan sebagai tempat
ibadah dalam arti sujud, namun juga sebagai tempat pembinaan, pengajaran,
praktek sosial, pengamanan, dan benteng pertahanan umat Islam. Karena itu,
fungsi masjid mencakup pengertian sosial, budaya, dan politik sekaligus.
Karena
itu, masjid dalam kapasitasnya sebagai rumah ibadah umat Islam memiliki
beberapa unsur-unsur/elemen-elemen yang diperlukan untuk fungsi-fungsi
tersebut. Ada beberapa elemen generik yang memang ada dari sejak dulu (jaman
Nabi Muhammad SAW) dan ada pula yang tambahan-tambahan pada masa-masa
berikutnya. Tambahan-tambahan pada masa berikutnya ini berkembang seiring
dengan kebutuhan-kebutuhan baru. Keduanya (baik yang generik maupun yang
merupakan tambahan baru) pada umumnya bervariasi tergantung di mana masjid
tersebut berada.
Perkembangan
Arsitektur Masjid Di Indonesia:
Suatu Adaptasi
dan Akulturasi Budaya
Sejarah
mencatat bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur hubungan dagang yang
sangat lama. Di Jawa, Islam masuk dan berkembang secara perlahan tetapi terus
menerus selama abad ke-13 hingga ke-16. Para penyebarnya terkenal dengan
toleransinya terhadap budaya dan tradisi setempat yang ada. Perkembangannya
yang tidak secara drastis ini sedikit demi sedikit menggantikan norma yang
telah ada sebelumnya khususnya Hindu-Budha
selama masa waktu itu. Proses ini berlangsung lama sehingga terjadilah
percampuran secara alamiah.
Pada
awal abad ke 15, Islam sudah menjadi kekuatan sosio-politik di Nusantara, khususnya
di pulau Jawa, sehingga berhasil mendesak pengaruh politik Majapahit. Kenyataan
ini memuncak dengan berdirinya Kesultanan Demak yang didukung oleh segenap
ulama di Indonesia (lebih dikenal sebagai Wali Sanga). Masjid, sebagai pusat dan inspirasi segala
kegiatan lalu menjadi suatu lambang yang baru untuk memelihara momentum sosio
politik waktu itu, sekaligus sebagai proyeksi jati-diri tatanan yang baru dalam
bentuk yang nyata dan kasat mata.
Berkaitan
dengan penyebaran Islam secara damai ini pula, Islam terlihat mengadaptasi
budaya dan tradisi setempat ke dalam perwujudan tipo-morfologi arsitektur
masjid yang baru. Atau juga sebaliknya terlihat bahwa masyarakat asli setempat
cenderung untuk menyerap ide-ide baru (Islam) dan kemudian mengasimilasikannya
dengan kepercayaan yang mereka anut (Budi, B. S., 2000). Keduanya saling
mengisi dan jalin-menjalin dengan unik. Contohnya seperti pada Masjid Sendang
Duwur (1559) di Jawa Timur, yang memiliki bentuk gerbangnya terdapat ornamen
makhluk hidup menyerupai burung merak dan burung garuda. Atau Masjid Menara
Kudus yang gerbang-gerbangnya (kori) dan menaranya lebih mirip bangunan candi
Hindu (Candi Jago di Jawa Timur) dari pada sebuah menara adzan masjid pada
umumnya.
Bahkan pun di Cina, morfologi arsitektur masjid
Agung Xian memperlihatkan adanya endapan karakter kebudayaan Cina. Jika
dibandingkan sistem hirarkis konsep gunung kosmik pada struktur Kota Terlarang
Beijing Kuno, ternyata kebudayaan manusia Cina yang hirakis secara tak terasa
tapi mencolok mengendap dalam bangunan masjid Xian ini; dan yang lain sama
sekali ekspresi wujudnya bila dibanding dengan masjid Ibn Tulun di Kairo yang
sangat demokratis tumbuh dari bumi dan rakyat padang pasir (Mangunwijaya, Y.B., 1992: 51-88).
Bukti-bukti itu menunjukkan realitas, bahwa lewat
bentukan arsitektur sebagai salahsatu produk budaya masyarakat, terlihat proses
akulturasi damai antara dimensi kultural Islam dengan kebudayaan setempat. Ini
sekaligus menyangkal kesalahpahaman masyarakat Barat, bahwa Islam datang ke
negeri-negeri pemeluknya dengan kekerasan, penghancuran, dan perang yang penuh
darah.
Meski
demikian, penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa bukannya tanpa
pergumulan serius. Menurut Khudori, (Khudori, D., 2000: 14). memang pada banyak tempat di kepulauan
Nusantara, penyebaran Islam tidak mendapat hambatan berarti. Namun di Jawa,
sesungguhnya terjadi konfrontasi serius menghadapi kekuasaan Majapahit dengan peradaban Hindu-Bunda-nya, yang bahkan
aspek mistik dan rujukan historiknya masih terasa sampai sekarang. Karena itu,
tampaknya eklektisisme dan sinkretisme menjadi pilihan.
Eklektisisme dan sikretisme arsitektur itu bisa disebut
merupakan suatu solusi yang cerdas, dari pola penyebaran agama Islam secara
damai dan mudah diterima, karena tidak memberikan kejutan budaya yang radikal.
Dengan demikian, dinamika Islam dalam menghadapi pola-pola budaya dan tradisi
lokal yang sudah ada di Nusantara melahirkan keragaman morfologik arsitektural
dalam jumlah besar dan bermutu tinggi.
Dari
sudut pandang agama itu sendiri, kenyataan ragam bentukan arsitektur tersebut
mencerminkan sifat kebudayaan yang dibangun oleh manusia, dengan citarasa, cara
berfikir, cara berperilaku, dan selera, yang bersifat relatif dan fana.
Artinya, bangsa-bangsa yang berbeda dapat memeluk satu agama yang sama yaitu
agama Islam yang datang dari wahyu Allah dalam Al Qur’an, namun bentukan
arsitektur Islam dapat beragam sesuai dengan kebudayaan masing-masing, termasuk
kebudayaan eklektik dan sinkretik.
Sesungguhnya
belum ada studi yang menunjukkan kaitan antara eklektisisme, sinkretisme, dan
adaptasi arsitektur masjid terhadap budaya lokal, dengan sinkretisme dalam
aspek ibadah ritual. Namun sebagai amsal,
dalam Babad Cirebon ada sebaris keterangan yang menyatakan bahwa orang Jawa
tidak perlu mengikuti bangsa Arab dalam mendirikan menara. Alasannya, orang
biasa (muadzin) tidak boleh berada lebih tinggi daripada raja. Hal ini akan
menimbulkan akibat buruk, yang disebut sebagai tullah atau kualat.[2] Untuk
kalangan Islam modernis, alasan ini dapat dipandang bid’ah, karena
mencampur-adukkan antara ketentuan agama bahwa: semua manusia pada dasarnya
kedudukannya sama di hadapan Allah dan hanya tingkat ketaqwaan yang
membedakannya, dengan kedudukan hirarki feodal Raja dan sekaligus mitos yang
menyertainya.
Dengan
demikian, munculnya aliran tradisionalis dan modernis dalam Islam, untuk
sebagian bisa dipahami dengan merujuk kepada sejarah perkembangan Islam dan
arsitektur masjid di Indonesia, atau sebaliknya. Dari segi tipologi arsitektur masjid
khususnya, pembahasan di atas
menunjukkan kemungkinan adanya relasi
antara doktrin keagamaan dengan arsitektur.
Telaah
ini sendiri tidak akan membahas lebih lanjut kemungkinan adanya kaitan antara
doktrin keagamaan dengan perkembangan arsitektur masjid. Namun demikian,
analisis memang menunjukkan bahwa perkembangan arsitektur masjid umumnya
berorientasi pada dua mainstream, yaitu karakteristik tradisionalitas dan
modernitas arsitektur. Pengungkapan tradisionalitas dan modernitas arsitektur
masjid ini, sama sekali terlepas dari penilaian baik dan buruk sehingga
bersifat netral. Artinya, modernitas arsitektur masjid tidak dimaksudkan untuk
menunjukkan nilai lebih baik atau lebih buruk dari tradisionalitas arsitektur
masjid, dan demikian pula sebaliknya.
Transformasi
Arsitektur Masjid:
Tradisionalitas
& Modernitas sebagai Unsur Dominan
Pengertian
tradisionalitas dan modernitas yang dimaksudkan dalam artikel ini, tidak
merujuk kepada konsep dan identitas baku
arsitektur tradisional atau arsitektur modern, tetapi lebih kepada sifat atau
ciri-ciri ketradisionalan dan kemodernan arsitektur. Disamping itu,
tradisionalitas dan modernitas ini pun untuk sebagian tidak selalu kontras
hitam putih, tetapi lebih kepada ciri mana yang paling dominan melekat pada
suatu bentukan arsitektur. Untuk itu, berdasarkan kajian teori yang diuraikan di muka serta
berdasarkan konsep-konsep umum yang selama ini dikenal, berikut ini diuraikan sifat-sifat dan ciri ketradisionalan dan
kemodernan arsitektur tersebut.
Terma-terma
semacam sinkretisisme, eklektisisme, mistisme, simbolisme, ketaatan pada
tradisi dan sejarah, ketaatan pada
sumber legitimasi (taqlid pada Kyai),
rancangan inkremental (tanpa orde), bentuk dilahirkan dari logika bahan
semata, dan lemahnya semangat inovasi dalam berarsitektur, adalah beberapa
indikator tradisionalitas. Sementara indikator modernitas, diantaranya adalah
semangat pembaruan (inovasi) dan reinterpretasi, rasional, kritis, a-historis,
anti-simbol, bentuk dilahirkan dari ide/gagasan tertentu yang
multidimensi, kesetiaan pada orde, serta
bentuk mengikuti fungsi[3].
Ciri-ciri tradisionalitas dan modernitas dalam bentukan arsitektur masjid
tersebut, untuk beberapa hal esensial diuraikan di bawah ini. Di sini lebih
banyak diuraikan ciri tradisionalitas bentukan arsitektur. Jika tidak disebut
secara khusus, maka ciri modernitas
arsitektur adalah kontras dari tradisionalitas arsitektur yang diuraikan lebih
lengkap.
|
|
Gambar
1. Tradisionalitas bentuk dasar
Dalam aspek
bentuk dasar arsitektur, tradisionalitas arsitektur masjid umumnya
diperlihatkan dengan bentuk-bentuk denah
persegi/bujursangkar, dengan serambi di mukanya. Bagian utama adalah
bujursangkar dalam, yang biasanya memiliki
empat kolom (sakaguru) untuk mendukung atap. Meski kolom ini sekarang
mungkin digantikan dengan elemen lain karena perkembangan teknologi, namun
idiom simbolik tipologi ini tetap
dipakai pada tradisionalitas masjid. Esensinya adalah perulangan tipologi
karena eklektisisme. Sebaliknya, modernitas arsitektur menghadirkan bentuk
dasar yang ahistoris, tak memiliki keterikatan terhadap bentuk tertentu,
kecuali didasarkan kepada
fungsi-fungsi sesuai dengan analisis
kebutuhan.
Gambar 2. Modernitas bentuk dasar
Tradisionalitas
bentuk dasar atap biasanya diperlihatkan dengan bentuk atap tajug dengan
memolo di puncak atap atau meru karena pengaruh Hindu, bentuk atap Kubah
karena pengaruh Timur Tengah yang dibawa para Kyai/Ulama masa lampau sesudah
naik Haji. Sinkretisme terjadi dalam hal ini. Bentuk kubah selanjutnya menjadi
simbol utama bahkan “merk” (setara
dengan corporate brand) (Projotomo, J. 2001) tradisionalitas masjid,
sehingga kubah dipakai tidak selalu karena alasan fungsional tetapi penanda
masjid menggantikan memolo. Tajug dan
Kubah merupakan langgam pengaruh Hindu (meru atau candi)
serta Pan Islam (kubah
dan lengkungan pada elemen
arsitektur). Ini adalah tipologi masjid tradisional Jawa[4],
yang kemudian secara turun temurun diikuti masyarakat Islam tradisionalis tanpa ada usaha
pembaruan. Sebaliknya, modernitas bentuk atap diperlihatkan dengan bentuk-bentuk yang non-simbolik, tidak
terikat sebagai “merk”, dan lebih didasarkan kepada pertimbangan perancangan
rasional dan ide-ide.
Gambar 3. Tradisionalitas
karakter arsitektur
Gambar 4.
Modernitas karakter arsitektur
Dari segi sifat
dasar atau karakter, tradisionalitas arsitektur masjid umumnya diperlihatkan
dengan adanya konfigurasi ruang pada denah dengan pola memusat. Aspek memusat
yang terfokus pada suatu bagian ruang ini dapat terlihat pada ruang utama,
serambi masjid, halaman dalam, dan halaman luar. Bahkan di ruang dalam, ruang
diantara empat kolom utama atau sakaguru membentuk suatu tempat khusus (Hatmoko,
A.U. 2000). Karakter bentuk bangunan, dengan tipologi atap tajug dan atau kubah, jelas memperlihatkan tradisionalitas bentuk
yang bersifat simbolik. Orientasi arah
ke atas yang kuat, biasanya diimbangi
dengan horisontalitas atap serambi berbentuk limasan.
Dengan menelaah bentuk dasar dan sifat dasar
tersebut, maka dapat disimpulkan pula
bahwa tradisionalitas langgam arsitektur masjid banyak ditampilkan oleh
sinkretisme, eklektisisme, dan simbolisme bentuk. Ini melahirkan masjid-masjid
tipikal tradisional di Jawa yang
memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:
memakai material kayu, beratap tumpang, terdapat memolo (hiasan dari
puncak atap yang diadaptasikan dari tradisi Hindu), memiliki tempat wudlu
berupa kolam/gentong, beduk/kentongan, serambi/pendopo, pawestren (ruang shalat
wanita), pagar/gerbang, makam, dan sebagian memiliki istiwa (jam matahari), dan
tidak bermenara (kecuali pada perkembangan kemudian) (Setiabudhi, B, 2000).
Gambar 5. Tradisionalitas langgam arsitektur
Selanjutnya, ada dua hal lain yang pantas
ditelaah, yaitu transformasi bentuk serta transformasi ruang arsitektur masjid. Ini merupakan dua hal yang
berkaitan, karena figurasi bentuk dilahirkan dari pembatas ruang melalui pola,
hirarki, dan organisasi ruang itu sendiri.
Dalam kaitan itu, akibat persinggungan budaya lokal dengan budaya asing di bumi Nusantara selama ini
serta proses tawar menawar dan tukar menukar elemen-elemen budaya yang
dimiliki, terjadilah akulturasi desain. Pola perubahannya adalah sebagai
berikut (Kartono. L., 1999: 45-46)
Gambar 6. Tradisionalitas langgam arsitektur
Pertama, bentuk tetap dengan makna tetap. Penampilan
bentuk tetap mengadopsi bentuk lama (walaupun dengan beberapa perubahan
material bangunan) dan makna yang ada (mitologi, kosmologi, dan genealogi) tetaplah
lama. Hal ini dimungkinkan terjadi pada masyarakat yang masih homogen, kuat
struktur sosialnya, dan masih berpegang teguh pada nilai-nilai/norma-norma yang
dianut sehingga dalam berakulturasi desain, nilai-nilai lokal masih cukup
dominan. Secara arsitektural tidak terjadi perubahan mendasar. Penghuni masih
memangku budayanya secara ketat beserta seluruh atribut-atributnya.
Gambar 7. Modernitas langgam arsitektur
Kedua, bentuk tetap dengan makna baru. Penampilan
arsitektur tetap mengadopsi bentuk lama tetapi diberi makna baru. Hal ini
dimungkinkan terjadi pada masyarakat yang baru mengalami masa transisi akibat
pengadopsian nilai-nilai kebudayaan asing. Mereka masih enggan meninggalkan
kebudayaan masa lalunya atau kalau pun terpaksa membutuhkan waktu yang lama.
Untuk mengakomodasi kebudayaan baru serta menghindari kejutan budaya maka bentuk yang tetap diberi makna baru.
Misalnya, makna yang bersifat sakral diubah menjadi profan. Juga ada usaha
desakralisasi serta usaha menghilangkan segala yang berbau mistik.
Gambar 8. Tradisionalitas tranformasi bentuk
Gambar 9. Moderenitas transformasi bentuk
Ketiga, bentuk
baru dengan makna tetap. Penampilan bentuk arsitektur menghadirkan bentuk baru
dalam arti unsur-unsur lama yang diperbaharui, jadi tidak lepas sekali karena
terjadi interpretasi baru terhadap bentuk lama, tetapi diberi makna yang lama
untuk menghindari kejutan budaya. Hal ini terjadi pada masyarakat transisi,
dimana dalam proses akulturasi dengan kebudayaan asing masih menyadari tidak
bisa menghilangkan sama sekali sikap religius sebagai warisan leluhur.
Gambar 10. Tradisionalitas
transformasi ruang
Keempat, bentuk
baru dengan makna baru. Penampilan bentuk arsitektur menghadirkan bentuk baru
serta makna baru pula karena terjadi perubahan paradigma arsitektur secara
total. Dalam beralkulturasi desain, terdapat kebebasan mengolah bentuk sesuai dengan tuntutan skemata yang ada dalam
pikirannya, sehingga kebudayaan lama ditinggalkan, dan kalaupun dipakai hanya
sebagai tempelan (ornamen/dekoratif) saja. Adanya proses demistisasi secara
menyeluruh ini dinamakan alegorisasi, dimana mitos dianggap dunia imajiner,
disejajarkan dengan suatu rasionalisme elementer dan psikologi yang simplistis.
Gambar 11.
Moderenitas transformasi ruang
Penutup
Berdasarkan
telaah itu, tradisionalitas tranformasi bentuk arsitektur masjid umumnya
diperlihatkan dengan perubahan yang inkremental, perubahan tidak mengikuti
pola yang jelas, tak ada kesetiaan kepada order
bentuk arsitektural dan struktural maupun pola dan organisasi
ruang. Sebaliknya, modernitas perubahan dan perkembangan arsitektur masjid
dicirikan dengan perubahan yang terencana, mengikuti pola atau bahkan modul
bentuk dan struktur, serta kesetiaan kepada order pengaturan pola dan
organisasi ruang.
DAFTAR PUSTAKA
Bahreisj, H. (1982) Hadist Shahih Bukhari Muslim. Jakarta: Karya Utama.
Budi, B. S. (2000). Arsitektur
Masjid. Jaringan Komunitas Arsitektur Indonesia.
Arsitektur Com.
Dokumen Pengantar Pameran
(1991). Arsitektur Islam. Festival Istiqlal I
Hatmoko, A.U. (2000).
Teknonika dan Ekspresi Masjid Tradisional dan
Kontemporer di
Jawa. The Third International Symposium on Islamic Expression in Indonesian
Architecture. Yogyakarta. UII.
Kartono. J.L. (1999). ’Konsep
Arsitektur Rumah Tinggal Tradisional Nusantara
dan Pola Perubahannya’, dalam Ngawangun Ki Nusantara. Bandung;
Arsitektur UNPAR. P.45-46
Khudori, D. (2000). Islam, Architecture and
Globalisation: Problematic and
Prospects for
Research in Indonesia.
Proceeding of The Third International Symposium Expression in Indonesian.
Architecture. UIA-LSAI.
Klozt, H. (1988). The History of Post Modern.
Massachusetts Institute of
Technology.
Cambridge.
Mangunwijaya. Y.B. (1992). Wastu
Citra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mustafa. H.A. 1990. 150
Hadist Pilihan. Al-Ikhlas.
Pijper. G.F. (1992). Empat Penelitian tentang Agama Islam di
Indonesia 1930-1950.
Terjemahan: Tujumah, Jakarta: UI Press.
Projotomo, J. (2001).
‘Arsitektur Masjid Tanpa Arsitek’, Simposium Nasional
Ekspresi Islami dalam Arsitektur
Nusantara-4 (SNEIDAN-4). Semarang: UNDIP.
Qur’an Surat Al Araf, ayat
7.
Qur’an Surat At-Taubah, ayat 108.
Rochym, A. (1994). Lintasan
Sejarah Arsitektur. Bahan kuliah tidak diterbitkan.
FPTK IKIP Bandung.
Rochym. A. (1983) Sejarah Arsitektur Masjid. Bandung: Angkasa
Setiabudhi, B. (2000). Menelusuri Arsitektur
Masjid di Jawa, dalam Mencari
Sebuah Masjid. Bandung: Masjid 2000.
[*] Dr. M. Syaom
Barliana, adalah Dosen pada Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, Universitas
Pendidikan Indonesia.
Lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada tanggal 4 Pebruari 1963. Menyelesaikan
pendidikan Sarjana pada program studi Pendidikan Teknik Bangunan FPTK IKIP
Bandung, 1987; pendidikan pascasarjana S2 (M.Pd. dan M.T) di program studi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan IKIP
Jakarta, 1995 dan Arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung, 2002; pendidikan
Doktor pada program studi pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan
Indonesia, 2008. Menulis sejumlah
artikel di berbagai suratkabar dan jurnal ilmiah; Menulis dan menyunting buku,
diantaranya adalah: Terminologi
Arsitektur: Dari Axismundi sampai Zoning (Bandung, IKIP Bandung Press,
1998), Membaca itu Indah (UPI Press,
IKA UPI, dan Kelompok Diskusi MATAKU, Bandung, 2005); Penyunting Pelaksana pada
jurnal ilmiah Mimbar Pendidikan,
Penyunting Ahli pada INVOTEC (jurnal
pendidikan teknologi kejuruan), Redaksi Pelaksana EDUCARE. Disamping sebagai Dosen, juga berpraktek sebagai Arsitek
Profesional, dan menjadi anggota serta
memiliki sertifikat keahlian dari IAI (Ikatan Arsitek Indonesia). Untuk kepentingan
akademis, penulis dapat dihubungi pada Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, FPTK,
Universitas Pendidikan Indonesia.
E-mail:
[2] Ini merupakan suatu penjelasan, mengapa
menara tidak menjadi bagian yang mutlak untuk menentukan lengkap
tidaknya bangunan masjid, sebab tidak semua masjid besar di Indonesia
dilengkapi menara. Lihat kutipan dari Wirjosuparto (1986. p. 5) dan
Abdurachman (1982. p. 52), dalam Bambang S. Budi (2000). Arsitektur Masjid.
Jaringan Komunitas Arsitektur Indonesia.
Arsitektur. Com
[3] -
Eklektisisme dalam tradisionalitas arsitektur adalah suatu peniruan dari
bentukan arsitektur yang telah ada tanpa sikap kritis, karena itu
berbeda dengan eklektisisme dalam arsitektur postmodernis yang mencoba
merumuskan sintesis baru atas
langgam-langgam lama/bersejarah yang kemudian dipresentasikan kembali,
yang tujuan pertamanya memberikan alternatif desain selain fungsionalisme.
Lihat: Heinrich Klozt. 1988. The
History of Post Modern. Massachusetts Institute of Technology. Cambridge.
-
Simbolisme tradisionalitas arsitektur
lebih merujuk kepada makna-makna simbolik yang bersifat mistis, kosmologis, dan tak teraga (intangible).
Ini berbeda dengan simbol-simbol
yang lebih intelektual, rasional, dan teraga pada modernitas arsitektur, sehingga sering pula
disebut antisimbol dan anti ornamen
karena lebih cenderung bermakna ekspresi dan bukan simbolik.
- Kejujuran terhadap bahan adalah ciri modernitas
arsitektur. Namun terma “bentuk dilahirkan dari logika bahan semata” lebih menunjuk kepada tipologi bangunan
secara keseluruhan. Dalam arsitektur modern, bentuk lebih banyak dilahirkan
dari simbol atau ide tertentu sang perancang/pembangun. Menara Eiffel dibangun
oleh Baron Haussman sebagai simbol kemajuan teknologi dan hasrat megalomania
Napoleon III yang baru saja menerapkan konep percemen dalam penataan
kota Paris. Masjid Istiqlal yang
monumental dibangun untuk merepresentasikan
“kebesaran” ummat Islam dan bangsa Indonesia. Masjid Salman yang
rasional dan ahistoris mencoba merefleksikan masyarakat dunia keilmuan.
Sementara itu, bentuk-bentuk masjid tradisional lebih banyak dilahirkan dari
“keterbatasan” tektonika (pengolahan
bahan alam dan teknologi konstruksi) lokal. Selanjutnya, lihat: Priyo Pratikno. 2000. Keterbatasan Peran
Bahan Bahan Bangunan Lokal pada Penampilan beberapa Masjid. Proceeding
of The Third International Symposium on
Islamic Expression in Indonesia
Architecture. Yogyakarta: UII
[4] Indonesia
memiliki arsitektur masjid kuno yang khas yang membedakannya dengan
bentuk-bentuk masjid di negara lain. Tipe masjid Indonesia berasal dari pulau Jawa,
sehingga kerap disebut sebagai masjid tipe Jawa. G.F. Pijper. 1992. Empat Penelitian tentang Agama Islam di
Indonesia 1930-1950. Terjemahan: Tujumah. Jakarta: UI Press. p. 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar