Breaking News

Kamis, 04 Juli 2013

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASJID: SUATU TRANSFORMASI BENTUK DAN RUANG


PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASJID:
SUATU TRANSFORMASI BENTUK DAN RUANG  

ABSTRACT

Mosque, is a work of living culture, because it is an architectural product which is always created, extensively used by Muslim society, utilized continuously from generation to generation. As a religious structure, therefore, mosque represents Muslim community who constructs and makes use of it prosperously.  As a process and a product of prevailing culture, mosque often grows and dynamically develops along with the growth and development of the society itself. Sometimes it becomes a problem and at the same time has of much benefit itself to investigate. The following study is to show the dynamic of development and change in mosque architectural design in Indonesia, by bringing to light the traditional and modern form of transformation and architectural space as its dominant character.
  Key words: mosque architecture, development, traditional and modern architecture, transformation in form and space.



Pengantar
Jika ditelusuri dari sejarah perkembangannya, masjid merupakan karya seni dan budaya Islam terpenting dalam ranah arsitektur. Karya arsitektur masjid,  merupakan perwujudan dari puncak ketinggian pengetahuan teknik dan metoda membangun, material, ragam hias, dan filosofi di suatu wilayah pada masanya. Selain itu masjid juga menjadi titik temu berbagai bentuk seni, mulai dari seni spasial, ruang dan bentuk, dekorasi, hingga seni suara (Budi, B.S., 2000)
Masjid, dengan demikian,  merupakan suatu karya budaya yang hidup, karena ia merupakan karya arsitektur yang selalu diciptakan, dipakai oleh masyarakat muslim secara luas, dan digunakan terus-menerus dari generasi ke generasi. Sebagai suatu proses dan hasilan budaya yang hidup, masjid seringkali tumbuh dan berkembang secara dinamis seiring dengan tumbuh dan berkembangnya masyarakat itu sendiri. Ini kadang menjadi masalah dan sekaligus kelebihan tersendiri dalam menelusurinya. Telaah di bawah ini ingin menunjukkan dinamika perkembangan dan perubahan arsitektur masjid tersebut.

Perkembangan Arsitektur Masjid:                                     
Dari Tempat Sujud menjadi Pusat Budaya

  Untuk menelaah lebih jauh tentang masjid, maka pertama-tama sumber  yang harus dirujuk adalah Al Qur’an dan Al Hadist. Banyak ayat dalam kedua sumber pedoman hidup umat Islam yang berbicara tentang masjid. Beberapa rujukan di bawah ini menjelaskan hal itu.
Pada awalnya, masjid tidak harus merupakan bangunan khusus atau karya arsitektur  tertentu. Masjid yang secara harfiah berarti tempat sujud, bisa berarti sekadar sebuah batu atau sehampar rumput savana, atau lapangan padang pasir yang dikelilingi bangunan serambi seperti “masjid lapangan” yang pertama kali didirikan oleh Nabi Muhammad SAW, misalnya. Sebab, pada dasarnya, sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim menyebutkan, bahwa: “Kepada Jabir bin Abdullah Al-Ansary, Nabi menerangkan bahwa  bumi ini bagiku suci bersih dan boleh dijadikan tempat untuk sembahyang, maka dimanapun  seseorang berada bolehlah ia sembahyang apabila waktunya tiba”. Hussein Bahreisj. (1982) Demikian pula, hadist riwayat Bukhari menyatakan bahwa: “Apabila Nabi Muhammad berkata:  seluruh jagad telah dijadikan bagiku sebagai masjid (tempat sujud)”  (Rachym. A., 1994).

Hadits tersebut  bermaksud menyatakan bahwa seluruh permukaan bumi ini bisa dijadikan sebagai masjid, dan sama sekali tidak bermaksud membatasi  bagaimana cara dan bentuk masjid itu diwujudkan. Oleh sebab itu, seperti disebutkan Abdul Rochym, Islam tidak memiliki konsep arsitektur (yang memaksa), yang menyatakan bahwa bangunan masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam, misalnya harus memiliki ciri seragam seperti kubah atau bentuk lainnya.
Ini sejalan dengan pernyataan Mangunwijaya (1992) bahwa meski buah arsitektur yang tumbuh dari pohon penghayatan keagamaan biasanya menampakkan arti sejati yang diilhami oleh kedalaman jiwa manusia yang peka dimensi kosmologis, namun kita harus awas dan jangan gegabah mencangkokkan suatu predikat “ciri keagamaan” tertentu pada suatu perwujudan bentuk-bentuk arsitektural tertentu pula. Seolah-olah arsitektur Islam atau Kristen misalnya, baru boleh disebut arsitektur dengan predikat Islam atau Kristen jika setia kepada suatu deretan kategori bentuk-bentuk arsitektur. 
Meski seluruh permukaan bumi adalah masjid, dan karena itu bisa saja membuat masjid dengan sekedar batas pagar berbentuk kotak misalnya, namun bagi ummat Islam masjid adalah “Rumah Allah” yang harus dimuliakan. Karena itu, sepanjang sejarah perkembangan arsitektur, masjid merupakan bentukan arsitektur yang memperoleh curahan optimal dalam hal ketrampilan teknologi, estetika, dan falsafah dalam rangkaian sejarah arsitektur Islam.  Ini tampaknya sejalan dengan  uangkapan sebuah hadist lain yang diriwayatkan Bukhari-Muslim,  bahwa: “Barangsiapa mendirikan masjid karena Allah, niscaya Allah mendirikan rumah yang sebanding (pahalanya) dengan itu di surga” (Bahreisj, H, 1982).  Sementara itu sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Naim dan Said Al Khudri. r.a. menyatakan bahwa;  “Sesungguhnya rumah-rumah-Ku di bumi ialah masjid-masjid, dan para pengunjungnya adalah orang-orang yang memakmurkannya” (Mustafa. H.A., 1990). Disamping itu, hadist riwayat Ahmad dan Tarmizi mengungkapkan, bahwa: “Rasulullah telah menyuruh kami membangun masjid di tempat tinggal kami dan supaya kami membersihkannya”. (Mustafa, H.A. 1990). Dengan demikian ada tiga kata kunci yang patut diperhatikan dari beberapa ayat Al Qur’an dan Hadist tersebut di atas, yaitu perintah untuk membangun masjid, memakmurkan, dan membersihkannya.
Sementara itu, sebuah ayat lain menyatakan: “Hai anak Adam pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makan dan  minumlah dan jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (Qur’an Surat  Al Araf, ayat 7). Ayat ini menunjukkan bagaimana umat Islam harus memuliakan dan menghormati masjid. Karena itu, justru pada saat datang ke masjid dan bukan pada saat datang ke undangan atau pesta misalnya,  diperintahkan kaum Muslim untuk memakai pakaian yang indah, dan  dalam hadist yang lain juga disunahkan untuk memakai wangin-wangian.
Hal itu juga relevan dengan fungsi masjid sebagai tempat suci, sehingga para pemakainya pun senantiasa harus dalam keadaan bersih, dengan cara mandi dan berwudlu sebelum memasuki masjid dan melaksanakan ibadah. Demikianlah, maka: “Di dalam masjid terdapat orang-orang yang selalu mencintai kebersihan/kesucian, dan Allah mencintai orang-orang yang selalu bersih/bersuci” (Qur’an Surat At-Taubah, ayat 108). Oleh sebab itu,: “Sesungguhnya masjid-masjid itu tidak baik untuk tempat kencing dan kotoran. Sesungguhnya masjid itu untuk tempat mengingat Allah SWT dan membaca Qur’an” (Mustafa. H.A., 1990).
Kesucian dan kebersihan itu terkait dengan fungsi utama dari masjid ialah sebagai tempat ibadah shalat, terutama shalat wajib yang lima waktu. Hadist riwayat Bukhari dan Said Tsabit mengungkapkan, bahwa  “Shalatlah kamu sekalian wahai manusia dalam rumah-rumahmu karena sesungguhnya yang paling utama dari shalat ialah shalatnya seseorang di rumahnya kecuali shalat yang wajib (lebih utama di masjid)” (Mustafa, H.A. 1990).
Banyaknya ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits yang berbicara tentang masjid tersebut, menunjukkan bahwa masjid menempati posisi penting dan strategis sebagai tempat dan pusat ibadah kaum Muslimin. Ini sejalan dengan perkembangan Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW di tanah Arab sejak tahun 600-an Masehi, yang telah berkembang luas baik ke Barat maupun ke Timur. Ke arah Barat, jejak wilayahnya membentang dari Spanyol hingga Afrika Barat dan ke arah Timur hingga China dan Asia Tenggara. Kehadiran agama ini telah memberikan budaya baru dalam masyarakat dunia. Produk-produk budayanya dapat disaksikan dalam berbagai perwujudannya, termasuk diantaranya adalah arsitektur.
Terbukti, bahwa masjid telah menjadi suatu karya arsitektur yang merupakan hasil budaya manusia yang terbesar baik dalam penyebaran geografis, ragam ukuran, maupun ragam bentuk sepanjang masa. Kenyataan ini bertumbuh, karena arsitektur masjid sekaligus mengandung dua unsur, yaitu sebagai kristalisasi nilai dan pandangan hidup masyarakat Muslim, dan sekaligus sebagai pembentuk manusia-manusia yang sesuai dengan nilai dan pandangan hidup masyarakatnya itu sendiri (Dokumen Pengantar Pameran, 1991) Oleh sebab itu, bisa dipahami jika kemudian masjid menjadi pusat kebudayaan agama Islam, dan bahkan menjadi tanda, simbol, dan orientasi bagi keberadaan Islam dan ummatnya. 
Dari segi fungsi, seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, masjid dalam perkembangannya tidak saja digunakan sebagai tempat ibadah dalam arti sujud, namun juga sebagai tempat pembinaan, pengajaran, praktek sosial, pengamanan, dan benteng pertahanan umat Islam. Karena itu, fungsi masjid mencakup pengertian sosial, budaya, dan politik sekaligus.
Karena itu, masjid dalam kapasitasnya sebagai rumah ibadah umat Islam memiliki beberapa unsur-unsur/elemen-elemen yang diperlukan untuk fungsi-fungsi tersebut. Ada beberapa elemen generik yang memang ada dari sejak dulu (jaman Nabi Muhammad SAW) dan ada pula yang tambahan-tambahan pada masa-masa berikutnya. Tambahan-tambahan pada masa berikutnya ini berkembang seiring dengan kebutuhan-kebutuhan baru. Keduanya (baik yang generik maupun yang merupakan tambahan baru) pada umumnya bervariasi tergantung di mana masjid tersebut berada.

Perkembangan Arsitektur Masjid Di Indonesia:
Suatu Adaptasi dan Akulturasi Budaya

Sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur hubungan dagang yang sangat lama. Di Jawa, Islam masuk dan berkembang secara perlahan tetapi terus menerus selama abad ke-13 hingga ke-16. Para penyebarnya terkenal dengan toleransinya terhadap budaya dan tradisi setempat yang ada. Perkembangannya yang tidak secara drastis ini sedikit demi sedikit menggantikan norma yang telah ada sebelumnya khususnya Hindu-Budha  selama masa waktu itu. Proses ini berlangsung lama sehingga terjadilah percampuran secara alamiah.
Pada awal abad ke 15, Islam sudah menjadi kekuatan sosio-politik di Nusantara, khususnya di pulau Jawa, sehingga berhasil mendesak pengaruh politik Majapahit. Kenyataan ini memuncak dengan berdirinya Kesultanan Demak yang didukung oleh segenap ulama di Indonesia (lebih dikenal sebagai Wali Sanga).  Masjid, sebagai pusat dan inspirasi segala kegiatan lalu menjadi suatu lambang yang baru untuk memelihara momentum sosio politik waktu itu, sekaligus sebagai proyeksi jati-diri tatanan yang baru dalam bentuk yang nyata dan kasat mata. 
Berkaitan dengan penyebaran Islam secara damai ini pula, Islam terlihat mengadaptasi budaya dan tradisi setempat ke dalam perwujudan tipo-morfologi arsitektur masjid yang baru. Atau juga sebaliknya terlihat bahwa masyarakat asli setempat cenderung untuk menyerap ide-ide baru (Islam) dan kemudian mengasimilasikannya dengan kepercayaan yang mereka anut (Budi, B. S., 2000). Keduanya saling mengisi dan jalin-menjalin dengan unik. Contohnya seperti pada Masjid Sendang Duwur (1559) di Jawa Timur, yang memiliki bentuk gerbangnya terdapat ornamen makhluk hidup menyerupai burung merak dan burung garuda. Atau Masjid Menara Kudus yang gerbang-gerbangnya (kori) dan menaranya lebih mirip bangunan candi Hindu (Candi Jago di Jawa Timur) dari pada sebuah menara adzan masjid pada umumnya.
  Bahkan pun di Cina, morfologi arsitektur masjid Agung Xian memperlihatkan adanya endapan karakter kebudayaan Cina. Jika dibandingkan sistem hirarkis konsep gunung kosmik pada struktur Kota Terlarang Beijing Kuno, ternyata kebudayaan manusia Cina yang hirakis secara tak terasa tapi mencolok mengendap dalam bangunan masjid Xian ini; dan yang lain sama sekali ekspresi wujudnya bila dibanding dengan masjid Ibn Tulun di Kairo yang sangat demokratis tumbuh dari bumi dan rakyat padang pasir (Mangunwijaya, Y.B.,  1992: 51-88). 
Bukti-bukti itu menunjukkan realitas, bahwa lewat bentukan arsitektur sebagai salahsatu produk budaya masyarakat, terlihat proses akulturasi damai antara dimensi kultural Islam dengan kebudayaan setempat. Ini sekaligus menyangkal kesalahpahaman masyarakat Barat, bahwa Islam datang ke negeri-negeri pemeluknya dengan kekerasan, penghancuran, dan perang yang penuh darah.
Meski demikian, penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa bukannya tanpa pergumulan serius. Menurut Khudori, (Khudori, D., 2000: 14).  memang pada banyak tempat di kepulauan Nusantara, penyebaran Islam tidak mendapat hambatan berarti. Namun di Jawa, sesungguhnya terjadi konfrontasi serius menghadapi  kekuasaan Majapahit  dengan peradaban Hindu-Bunda-nya, yang bahkan aspek mistik dan rujukan historiknya masih terasa sampai sekarang. Karena itu, tampaknya eklektisisme dan sinkretisme menjadi pilihan.
Eklektisisme dan sikretisme arsitektur itu bisa disebut merupakan suatu solusi yang cerdas, dari pola penyebaran agama Islam secara damai dan mudah diterima, karena tidak memberikan kejutan budaya yang radikal. Dengan demikian, dinamika Islam dalam menghadapi pola-pola budaya dan tradisi lokal yang sudah ada di Nusantara melahirkan keragaman morfologik arsitektural dalam jumlah besar dan bermutu tinggi.
Dari sudut pandang agama itu sendiri, kenyataan ragam bentukan arsitektur tersebut mencerminkan sifat kebudayaan yang dibangun oleh manusia, dengan citarasa, cara berfikir, cara berperilaku, dan selera, yang bersifat relatif dan fana. Artinya, bangsa-bangsa yang berbeda dapat memeluk satu agama yang sama yaitu agama Islam yang datang dari wahyu Allah dalam Al Qur’an, namun bentukan arsitektur Islam dapat beragam sesuai dengan kebudayaan masing-masing, termasuk kebudayaan eklektik dan sinkretik. 
Sesungguhnya belum ada studi yang menunjukkan kaitan antara eklektisisme, sinkretisme, dan adaptasi arsitektur masjid terhadap budaya lokal, dengan sinkretisme dalam aspek ibadah ritual. Namun sebagai amsal,  dalam Babad Cirebon ada sebaris keterangan yang menyatakan bahwa orang Jawa tidak perlu mengikuti bangsa Arab dalam mendirikan menara. Alasannya, orang biasa (muadzin) tidak boleh berada lebih tinggi daripada raja. Hal ini akan menimbulkan akibat buruk, yang disebut sebagai tullah atau kualat.[2] Untuk kalangan Islam modernis, alasan ini dapat dipandang bid’ah, karena mencampur-adukkan antara ketentuan agama bahwa: semua manusia pada dasarnya kedudukannya sama di hadapan Allah dan hanya tingkat ketaqwaan yang membedakannya, dengan kedudukan hirarki feodal Raja dan sekaligus mitos yang menyertainya.
Dengan demikian, munculnya aliran tradisionalis dan modernis dalam Islam, untuk sebagian bisa dipahami dengan merujuk kepada sejarah perkembangan Islam dan arsitektur masjid di Indonesia, atau sebaliknya.  Dari segi tipologi arsitektur masjid khususnya,  pembahasan di atas menunjukkan  kemungkinan adanya relasi antara doktrin keagamaan dengan arsitektur.
Telaah ini sendiri tidak akan membahas lebih lanjut kemungkinan adanya kaitan antara doktrin keagamaan dengan perkembangan arsitektur masjid. Namun demikian, analisis memang menunjukkan bahwa perkembangan arsitektur masjid umumnya berorientasi pada dua mainstream, yaitu karakteristik tradisionalitas dan modernitas arsitektur. Pengungkapan tradisionalitas dan modernitas arsitektur masjid ini, sama sekali terlepas dari penilaian baik dan buruk sehingga bersifat netral. Artinya, modernitas arsitektur masjid tidak dimaksudkan untuk menunjukkan nilai lebih baik atau lebih buruk dari tradisionalitas arsitektur masjid, dan demikian pula sebaliknya.

Transformasi Arsitektur Masjid:                                 
Tradisionalitas & Modernitas sebagai Unsur Dominan

Pengertian tradisionalitas dan modernitas yang dimaksudkan dalam artikel ini, tidak merujuk kepada  konsep dan identitas baku arsitektur tradisional atau arsitektur modern, tetapi lebih kepada sifat atau ciri-ciri ketradisionalan dan kemodernan arsitektur. Disamping itu, tradisionalitas dan modernitas ini pun untuk sebagian tidak selalu kontras hitam putih, tetapi lebih kepada ciri mana yang paling dominan melekat pada suatu bentukan arsitektur. Untuk itu, berdasarkan  kajian teori yang diuraikan di muka serta berdasarkan konsep-konsep umum yang selama ini dikenal,  berikut ini diuraikan  sifat-sifat dan ciri ketradisionalan dan kemodernan  arsitektur tersebut.
Terma-terma semacam sinkretisisme, eklektisisme, mistisme, simbolisme, ketaatan pada tradisi dan  sejarah, ketaatan pada sumber legitimasi (taqlid pada Kyai),  rancangan inkremental (tanpa orde), bentuk dilahirkan dari logika bahan semata, dan lemahnya semangat inovasi dalam berarsitektur, adalah beberapa indikator tradisionalitas. Sementara indikator modernitas, diantaranya adalah semangat pembaruan (inovasi) dan reinterpretasi, rasional, kritis, a-historis, anti-simbol, bentuk dilahirkan dari ide/gagasan tertentu yang multidimensi,  kesetiaan pada orde, serta bentuk mengikuti fungsi[3]. Ciri-ciri tradisionalitas dan modernitas dalam bentukan arsitektur masjid tersebut, untuk beberapa hal esensial diuraikan di bawah ini. Di sini lebih banyak diuraikan ciri tradisionalitas bentukan arsitektur. Jika tidak disebut secara khusus,  maka ciri modernitas arsitektur adalah kontras dari tradisionalitas arsitektur yang diuraikan lebih lengkap.
Denah Masjid Ciwaringin Cirebon
 
Makam almarhum Kyai/keluarga Kyai
 
Gambar 1. Tradisionalitas bentuk dasar

Dalam aspek bentuk dasar arsitektur, tradisionalitas arsitektur masjid umumnya diperlihatkan dengan bentuk-bentuk  denah persegi/bujursangkar, dengan serambi di mukanya. Bagian utama adalah bujursangkar dalam, yang biasanya memiliki  empat kolom (sakaguru) untuk mendukung atap. Meski kolom ini sekarang mungkin digantikan dengan elemen lain karena perkembangan teknologi, namun idiom  simbolik tipologi ini tetap dipakai pada tradisionalitas masjid. Esensinya adalah perulangan tipologi karena eklektisisme. Sebaliknya, modernitas arsitektur menghadirkan bentuk dasar yang ahistoris, tak memiliki keterikatan terhadap bentuk tertentu, kecuali didasarkan kepada  fungsi-fungsi  sesuai dengan analisis kebutuhan.


Gambar 2.  Modernitas bentuk dasar

Tradisionalitas  bentuk dasar atap biasanya diperlihatkan dengan bentuk atap tajug dengan memolo di puncak atap atau meru karena pengaruh Hindu, bentuk atap Kubah karena pengaruh Timur Tengah yang dibawa para Kyai/Ulama masa lampau sesudah naik Haji. Sinkretisme terjadi dalam hal ini. Bentuk kubah selanjutnya menjadi simbol utama bahkan “merk”  (setara dengan corporate brand) (Projotomo, J. 2001) tradisionalitas masjid, sehingga kubah dipakai tidak selalu karena alasan fungsional tetapi penanda masjid menggantikan  memolo. Tajug dan Kubah merupakan langgam  pengaruh  Hindu (meru  atau candi)  serta  Pan  Islam  (kubah  dan   lengkungan  pada elemen
arsitektur). Ini adalah tipologi masjid tradisional Jawa[4], yang kemudian secara turun temurun diikuti masyarakat  Islam tradisionalis tanpa ada usaha pembaruan. Sebaliknya, modernitas bentuk atap diperlihatkan dengan  bentuk-bentuk yang non-simbolik, tidak terikat sebagai “merk”, dan lebih didasarkan kepada pertimbangan perancangan rasional dan ide-ide.
Gambar 3. Tradisionalitas karakter arsitektur

Gambar 4.  Modernitas karakter arsitektur

Dari segi sifat dasar atau karakter, tradisionalitas arsitektur masjid umumnya diperlihatkan dengan adanya konfigurasi ruang pada denah dengan pola memusat. Aspek memusat yang terfokus pada suatu bagian ruang ini dapat terlihat pada ruang utama, serambi masjid, halaman dalam, dan halaman luar. Bahkan di ruang dalam, ruang diantara empat kolom utama atau sakaguru membentuk suatu tempat khusus (Hatmoko, A.U. 2000). Karakter bentuk bangunan, dengan tipologi  atap tajug dan atau kubah,  jelas memperlihatkan tradisionalitas bentuk yang bersifat simbolik. Orientasi  arah ke atas yang kuat, biasanya diimbangi  dengan horisontalitas atap serambi berbentuk limasan.
 Dengan menelaah bentuk dasar dan sifat dasar tersebut, maka  dapat disimpulkan pula bahwa tradisionalitas langgam arsitektur masjid banyak ditampilkan oleh sinkretisme, eklektisisme, dan simbolisme bentuk. Ini melahirkan masjid-masjid tipikal tradisional di Jawa  yang memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:  memakai material kayu, beratap tumpang, terdapat memolo (hiasan dari puncak atap yang diadaptasikan dari tradisi Hindu), memiliki tempat wudlu berupa kolam/gentong, beduk/kentongan, serambi/pendopo, pawestren (ruang shalat wanita), pagar/gerbang, makam, dan sebagian memiliki istiwa (jam matahari), dan tidak bermenara (kecuali pada perkembangan kemudian) (Setiabudhi, B, 2000).
Gambar 5. Tradisionalitas langgam arsitektur          

 Selanjutnya, ada dua hal lain yang pantas ditelaah, yaitu transformasi bentuk serta transformasi ruang  arsitektur masjid. Ini merupakan dua hal yang berkaitan, karena figurasi bentuk dilahirkan dari pembatas ruang melalui pola, hirarki, dan organisasi ruang itu sendiri.  Dalam kaitan itu, akibat persinggungan budaya lokal dengan  budaya asing di bumi Nusantara selama ini serta proses tawar menawar dan tukar menukar elemen-elemen budaya yang dimiliki, terjadilah akulturasi desain. Pola perubahannya adalah sebagai berikut (Kartono. L., 1999:  45-46)
           
Gambar 6. Tradisionalitas langgam arsitektur

Pertama, bentuk tetap dengan makna tetap. Penampilan bentuk tetap mengadopsi bentuk lama (walaupun dengan beberapa perubahan material bangunan) dan makna yang ada (mitologi, kosmologi, dan genealogi) tetaplah lama. Hal ini dimungkinkan terjadi pada masyarakat yang masih homogen, kuat struktur sosialnya, dan masih berpegang teguh pada nilai-nilai/norma-norma yang dianut sehingga dalam berakulturasi desain, nilai-nilai lokal masih cukup dominan. Secara arsitektural tidak terjadi perubahan mendasar. Penghuni masih memangku budayanya secara ketat beserta seluruh atribut-atributnya.

Gambar 7.  Modernitas langgam  arsitektur
      
Kedua, bentuk tetap dengan makna baru. Penampilan arsitektur tetap mengadopsi bentuk lama tetapi diberi makna baru. Hal ini dimungkinkan terjadi pada masyarakat yang baru mengalami masa transisi akibat pengadopsian nilai-nilai kebudayaan asing. Mereka masih enggan meninggalkan kebudayaan masa lalunya atau kalau pun terpaksa membutuhkan waktu yang lama. Untuk mengakomodasi kebudayaan baru serta menghindari kejutan budaya maka  bentuk yang tetap diberi makna baru. Misalnya, makna yang bersifat sakral diubah menjadi profan. Juga ada usaha desakralisasi serta usaha menghilangkan segala yang berbau mistik.
Gambar 8. Tradisionalitas tranformasi bentuk
Gambar 9.  Moderenitas  transformasi bentuk     

 Ketiga, bentuk baru dengan makna tetap. Penampilan bentuk arsitektur menghadirkan bentuk baru dalam arti unsur-unsur lama yang diperbaharui, jadi tidak lepas sekali karena terjadi interpretasi baru terhadap bentuk lama, tetapi diberi makna yang lama untuk menghindari kejutan budaya. Hal ini terjadi pada masyarakat transisi, dimana dalam proses akulturasi dengan kebudayaan asing masih menyadari tidak bisa menghilangkan sama sekali sikap religius sebagai warisan leluhur.

Gambar 10. Tradisionalitas transformasi ruang        

 Keempat, bentuk baru dengan makna baru. Penampilan bentuk arsitektur menghadirkan bentuk baru serta makna baru pula karena terjadi perubahan paradigma arsitektur secara total. Dalam beralkulturasi desain, terdapat kebebasan mengolah bentuk  sesuai dengan tuntutan skemata yang ada dalam pikirannya, sehingga kebudayaan lama ditinggalkan, dan kalaupun dipakai hanya sebagai tempelan (ornamen/dekoratif) saja. Adanya proses demistisasi secara menyeluruh ini dinamakan alegorisasi, dimana mitos dianggap dunia imajiner, disejajarkan dengan suatu rasionalisme elementer dan psikologi yang simplistis.

Gambar 11.  Moderenitas  transformasi ruang
Penutup
Berdasarkan telaah itu, tradisionalitas tranformasi bentuk arsitektur masjid umumnya diperlihatkan dengan perubahan yang inkremental, perubahan tidak mengikuti pola  yang  jelas, tak ada kesetiaan kepada order bentuk  arsitektural  dan struktural maupun pola dan organisasi ruang. Sebaliknya, modernitas perubahan dan perkembangan arsitektur masjid dicirikan dengan perubahan yang terencana, mengikuti pola atau bahkan modul bentuk dan struktur, serta kesetiaan kepada order pengaturan pola dan organisasi ruang.



DAFTAR PUSTAKA

Bahreisj, H. (1982)  Hadist Shahih Bukhari Muslim. Jakarta: Karya Utama.

Budi, B. S. (2000). Arsitektur Masjid. Jaringan Komunitas Arsitektur Indonesia.
Arsitektur Com.

Dokumen Pengantar Pameran (1991). Arsitektur Islam. Festival Istiqlal I

Hatmoko, A.U. (2000). Teknonika dan Ekspresi Masjid Tradisional dan
Kontemporer di Jawa. The Third International Symposium on Islamic Expression in Indonesian Architecture. Yogyakarta. UII.

Kartono. J.L. (1999). ’Konsep Arsitektur Rumah Tinggal Tradisional Nusantara
dan Pola Perubahannya’,  dalam Ngawangun Ki Nusantara. Bandung; Arsitektur UNPAR. P.45-46

Khudori, D. (2000). Islam, Architecture and Globalisation: Problematic and
Prospects for Research in Indonesia. Proceeding of The Third International Symposium Expression in Indonesian. Architecture. UIA-LSAI.

Klozt, H. (1988). The History of Post Modern. Massachusetts Institute of
          Technology. Cambridge.

Mangunwijaya. Y.B. (1992). Wastu Citra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mustafa. H.A. 1990. 150 Hadist Pilihan. Al-Ikhlas.

Pijper. G.F. (1992). Empat Penelitian tentang Agama Islam di Indonesia 1930-1950.
            Terjemahan: Tujumah, Jakarta: UI Press.

Projotomo, J. (2001). ‘Arsitektur Masjid Tanpa Arsitek’, Simposium Nasional
Ekspresi Islami dalam Arsitektur  Nusantara-4 (SNEIDAN-4). Semarang: UNDIP.

Qur’an Surat  Al Araf, ayat 7.

Qur’an Surat At-Taubah, ayat 108.

Rochym, A. (1994). Lintasan Sejarah Arsitektur. Bahan kuliah tidak diterbitkan.
          FPTK IKIP Bandung.

Rochym. A. (1983)  Sejarah Arsitektur Masjid. Bandung: Angkasa 

Setiabudhi, B. (2000). Menelusuri Arsitektur Masjid di Jawa, dalam Mencari
            Sebuah Masjid. Bandung:  Masjid 2000.


[*] Dr. M. Syaom Barliana, adalah Dosen pada Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, Universitas Pendidikan Indonesia. Lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada tanggal 4 Pebruari 1963. Menyelesaikan pendidikan Sarjana pada program studi Pendidikan Teknik Bangunan FPTK IKIP Bandung, 1987; pendidikan pascasarjana S2 (M.Pd. dan M.T) di program studi  Pendidikan Teknologi dan Kejuruan IKIP Jakarta, 1995 dan Arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung, 2002; pendidikan Doktor pada program studi pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia, 2008.  Menulis sejumlah artikel di berbagai suratkabar dan jurnal ilmiah; Menulis dan menyunting buku, diantaranya adalah: Terminologi Arsitektur: Dari Axismundi sampai Zoning (Bandung, IKIP Bandung Press, 1998), Membaca itu Indah (UPI Press, IKA UPI, dan Kelompok Diskusi MATAKU, Bandung, 2005); Penyunting Pelaksana pada jurnal ilmiah Mimbar Pendidikan, Penyunting Ahli pada INVOTEC (jurnal pendidikan teknologi kejuruan), Redaksi Pelaksana EDUCARE. Disamping sebagai Dosen, juga berpraktek sebagai Arsitek Profesional, dan menjadi anggota  serta memiliki sertifikat keahlian dari IAI (Ikatan Arsitek Indonesia). Untuk kepentingan akademis, penulis dapat dihubungi pada Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, FPTK, Universitas Pendidikan Indonesia. E-mail:

[2] Ini merupakan suatu penjelasan, mengapa  menara tidak menjadi bagian yang mutlak untuk menentukan lengkap tidaknya bangunan masjid, sebab tidak semua masjid besar di Indonesia dilengkapi menara.  Lihat  kutipan dari Wirjosuparto (1986. p. 5) dan Abdurachman (1982. p. 52), dalam Bambang S. Budi (2000). Arsitektur Masjid. Jaringan Komunitas Arsitektur Indonesia. Arsitektur. Com
[3] - Eklektisisme dalam tradisionalitas arsitektur adalah suatu peniruan  dari  bentukan arsitektur yang telah ada tanpa sikap kritis, karena itu berbeda dengan eklektisisme dalam arsitektur postmodernis yang mencoba merumuskan sintesis baru atas  langgam-langgam lama/bersejarah yang kemudian dipresentasikan kembali, yang tujuan pertamanya memberikan alternatif desain selain fungsionalisme. Lihat:   Heinrich Klozt. 1988. The History of Post Modern. Massachusetts Institute of Technology. Cambridge.
     - Simbolisme  tradisionalitas arsitektur lebih merujuk kepada makna-makna simbolik yang bersifat mistis,  kosmologis, dan tak teraga (intangible). Ini  berbeda dengan simbol-simbol yang  lebih intelektual,  rasional, dan teraga pada  modernitas arsitektur, sehingga sering pula disebut antisimbol dan anti ornamen  karena lebih cenderung bermakna ekspresi dan bukan simbolik.
     - Kejujuran terhadap bahan adalah ciri modernitas arsitektur. Namun terma “bentuk dilahirkan dari logika bahan semata”  lebih menunjuk kepada tipologi bangunan secara keseluruhan. Dalam arsitektur modern, bentuk lebih banyak dilahirkan dari simbol atau ide tertentu  sang  perancang/pembangun. Menara Eiffel dibangun oleh Baron Haussman sebagai simbol kemajuan teknologi dan hasrat megalomania Napoleon III yang baru saja menerapkan konep percemen dalam penataan kota Paris.  Masjid Istiqlal yang monumental dibangun untuk merepresentasikan  “kebesaran” ummat Islam dan bangsa Indonesia. Masjid Salman yang rasional dan ahistoris mencoba merefleksikan masyarakat dunia keilmuan. Sementara itu, bentuk-bentuk masjid tradisional lebih banyak dilahirkan dari “keterbatasan”  tektonika (pengolahan bahan alam dan teknologi konstruksi) lokal. Selanjutnya, lihat:  Priyo Pratikno. 2000. Keterbatasan Peran Bahan Bahan Bangunan Lokal pada Penampilan beberapa Masjid. Proceeding of The Third International  Symposium on Islamic Expression in Indonesia Architecture. Yogyakarta: UII
     
[4] Indonesia memiliki arsitektur masjid kuno yang khas yang membedakannya dengan bentuk-bentuk masjid di negara lain. Tipe masjid Indonesia berasal dari pulau Jawa, sehingga kerap disebut sebagai masjid tipe Jawa. G.F. Pijper. 1992. Empat Penelitian tentang Agama Islam di Indonesia 1930-1950. Terjemahan: Tujumah. Jakarta: UI Press. p. 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By VungTauZ.Com